Resiko Reksadana

Menakar Risiko Reksadana


Ingat! Tidak ada investasi yang bebas dari risiko. Contohnya, Anda berinvestasi di properti, ada risiko harganya tidak kunjung naik atau bahkan melorot lantaran lokasi properti yang Anda beli ternyata rawan banjir. Eh, mau menjual ternyata juga susahnya minta ampun. Nah, bagaimana dengan investasi di reksadana?

Seperti sudah pernah kita bahas, NAB reksadana itu bisa naik dan bisa turun. Nah, jika kebetulan NAB per unit reksadana Anda ternyata turun lebih rendah ketimbang NAB per unit pada waktu Anda membelinya, berarti ada indikasi Anda akan merugi.

Penurunan NAB per unit penyertaan reksadana disebabkan adanya penurunan dari harga atau nilai efek alias surat berharga yang ada dalam portofolio reksadana Anda. Misalnya, bunga deposito, bila sebagian dana reksadana itu ditaruh di deposito. Bisa juga, turunnya harga saham serta obligasi, bila dana kelolaan reksadana itu ditempatkan pada kedua instrumen ini.

Lantas, apa yang bisa membuat harga atau nilai efek turun? Pertama, harga atau nilai efek bisa turun karena ada perubahan kondisi ekonomi, politik, atau keamanan - baik di dalam maupun luar negeri - yang bisa memengaruhi kinerja penerbit efek.

Misalnya, lantaran inflasi cukup rendah dan perekonomian secara makro membaik, Bank Indonesia menurunkan suku bunganya. Contoh lain, ketika pekan lalu pasar saham Shanghai dan Shenzhen di China anjlok, bursa saham kita ikut runtuh. Alhasil, karena harga saham-saham turun, NAB per unit penyertaan reksadana yang penempatan dananya di dalam instrumen saham otomatis juga turun.

Risiko kedua: terjadi wanprestasi dari salah satu atau beberapa pihak yang terlihat dalam penerbitan dan pengelolaan surat berharga. Tidak tertutup kemungkinan, si penerbit atau emiten surat berharga itu mengalami gagal bayar atau kebangkrutan usaha. Akibatnya, emiten tidak bisa memenuhi kewajibannya, sehingga harga efek yang dia terbitkan langsung jatuh.

Biar lebih jelas, mari kita pakai perumpamaan. Taruh kata, sebuah produk reksadana menempatkan sebagian besar dananya ke efek obligasi korporasi yang memberi tingkat kupon tinggi. Sudah prinsip dasar investasi, instrumen yang memberikan keuntungan tinggi biasanya mempunyai risiko yang juga tinggi.

Terbukti kemudian, kinerja perusahaan dari beberapa efek obligasi itu jeblok. Proyek-proyek usahanya gagal sehingga kesehatan keuangannya terganggu. Malah, ia terancam bangkrut. Walhasil, kinerja obligasinya pun jelek. Diawali dengan keterlambatan pembayaran kupon, penurunan harga obligasi, hingga akhirnya pembayaran kupon dan pokok obligasi itu macet alias gagal bayar.

MI akan memasukkan kejadian tersebut dalam penghitungan NAB per unit penyertaan reksadana. Akibatnya, investor akan melihat NAB per unit di reksadana itu berkurang. Kalau porsi investasi di obligasi itu besar, reksadana Anda pun akan merugi.

Kini, kita akan mempelajari risiko yang ketiga: yakni, risiko likuiditas. Ini adalah risiko menyangkut cepat-lambatnya investor dapat mencairkan investasinya di reksadana.

Selain risiko fluktuasi NAB dan wanprestasi, reksadana punya risiko likuiditas. Intinya, manajer investasi (MI) itu mirip dengan bank. Jika investor secara bersama-sama menarik dananya (rush) dari satu produk, si MI juga bisa kolaps. Karena itu, investor harus benar-benar selektif memilih MI. Selain kinerjanya, perhatikan juga kekuatan modalnya. Semakin kuat cadangan modal yang dimilikinya, semakin baik dia.

Saat ini, hampir semua jenis reksadana memang mengizinkan investornya untuk keluar-masuk setiap saat. Satu-satunya jenis reksadana yang masih memasang batasan waktu penarikan dana adalah reksadana terproteksi. Ini bisa dimaklumi, karena skim investasi reksadana terproteksi memang mengharuskan adanya pembatasan waktu penarikan dana. Ia bahkan memiliki waktu jatuh tempo.

Tapi, reksadana yang lain tak mengenal periode jatuh tempo. Ini artinya, jika menginginkan, investor bisa menjual unit penyertaan reksadananya setiap saat. Hanya, jangan salah. Ada kalanya proses penarikan dana itu ternyata tidak bisa berjalan lancar. Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) bilang bahwa manajer investasi (MI) harus membayarkan dana yang ditarik investor paling lambat dalam 7 hari kerja bursa. Tapi, kadang kala, MI tak bisa memenuhi tenggat waktu ini.

Peristiwa ini bisa terjadi jika seluruh investor yang menempatkan dananya dalam suatu produk reksadana menarik dananya secara bersama-sama. Taruh kata ada 1.000 investor yang membiakkan duitnya di reksadana A yang dikelola oleh Manajer Investasi X. Nah, suatu ketika pasar reksadana tiba-tiba gonjang-ganjing. Akibatnya, semua investor reksadana A itu menarik dananya secara bersama-sama.

Keadaan ini memaksa Manajer Investasi X untuk menjual instrumen-instrumen portofolio yang ada di dalam reksadana A. Berikutnya, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Kemungkinan pertama: MI berhasil menjual seluruh instrumen portofolio sehingga langsung mengantongi dana dan membagikannya kepada para investor sesuai dengan jumlah investasi mereka.

Kemungkinan kedua: MI tidak bisa menjual instrumen investasinya sekaligus. Alasannya, di pasar memang belum ada pembeli yang mau membeli instrumen investasi tersebut. Atau, kalaupun ada, si calon pembeli menawarkan harga yang sangat murah. Dalam kondisi seperti ini, mau tidak mau, MI harus menjual instrumen investasinya secara bertahap. Ujung-ujungnya investor pun telat menerima dananya. Syukur kalau cuma telat. Mungkin saja, dana investor juga benar-benar macet lantaran MI gagal menjual instrumen investasinya di pasar.

Kalau diperhatikan, MI reksadana agak mirip dengan bank. Kalau secara bersama-sama investor menarik (rush) dananya, MI juga bisa kolaps. Akibatnya, duit investor juga bisa nyangkut atau tak bisa ditarik.

Resiko Reksadana

Memercayakan uang kita pada pihak lain, dalam hal ini MI, nggak dipungkiri terbersit sedikit kekhawatiran bahwa uang kita akan amblas tanpa ada sedikitpun tanggung jawab dari MI.

Kalau amblas, sih, nggak. MI ini tugasnya adalah mengelola uang, tapi sebenarnya uangnya sendiri ada di Bank Kustodian—bank yang bertugas melakukan fungsi administrasi dan menjaga harta reksadana. Jadi nggak mungkin MI membawa kabur uang kita.

Risiko dari investasi reksadana lebih ke perolehan return. Nggak selamanya reksadana memberikan return yang sesuai harapan, karena return tergantung pasar. Jika mengambil reksadana saham, misalnya, risikonya, ya, tergantung pasar saham. Ketika pasar saham turun, ya semua turun. Begitu pula sebaliknya. Perlu diingat bahwa semakin tinggi return-nya maka makin tinggi juga risikonya

Contohnya, di tahun 2008 kinerja reksadana turun sekitar 50 persen, tahun 2009 naik sekitar 100 persen, dan tahun 2010 naik sekitar 50 persen. Nah, pintar-pintar kita, deh, mencari tahu kapan waktu terbaik untuk mencairkan reksadana, apakah mau bertahap atau langsung sekaligus saat kinerjanya lagi naik
Resiko Investasi Reksa Dana Syariah
Seperti pada reksadana konvensional, investasi pada reksadana syariah pun mempunyai resiko, antara lain:
- Risiko penurunan Nilai Aktiva Bersih (NAB)
- Risiko Likuiditas jika terjadi pencairan dalam jumlah yang besar secara bersamaan
- Risiko perubahan ekonomi dan politik dan peraturan perpajakan
- Risiko terjadinya wanprestasi
- Risiko Pembubaran

Sumber: http://personalfinance.kontan.co.id/main/investasi_pemula/read/39/Menakar-Risiko-Reksadana-
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/03/13/investasi-reksadana-untuk-pemula/

0 Response to "Resiko Reksadana"

Posting Komentar